Jam Operasional : Senin - Jum’at 08.00 - 16.00 WITA
Samarinda Pengangkatan dan pemberhentian Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arcandra Tahar, dalam jangka waktu 20 hari menarik untuk kita diskusikan. Mengapa itu bisa terjadi? Siapa yang paling bertanggungjawab terhadap pengangkatan dan pemberhentian seorang Menteri? Tahapan apa yang seharusnya dilakukan agar sebuah kebijakan tidak bersifat trial and eror?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut wajar muncul di tengah-tengah masyarakat. Karena masyarakat awam tentu tidak tahu bagaimana sebenarnya proses sebuah kebijakan itu ditetapkan. Saya mencoba membatasi tulisan ini bukan dari sisi masalah kewarganegaraan Menteri Arcandra. Tetapi dari sisi proses formulasi kebijakan, sebagai bagian dari proses rangkaian kebijakan Pemerintah.
Secara teoritis, kebijakan pemerintah mempunyai pelbagai perumusan. Robert Eyeston, (1971: 18) misalnya, mengartikan kebijakan pemerintah (public policy) sebagai “hubungan antara satu unit pemerintahan dengan lingkungannya”. Sedangkan menurut Thomas R. Dye (1975: 1), makna kebijakan pemerintah dipahami lebih sederhana, dengan menyatakan “public policy is whatever government choose to do or not to do” (kebijakan pemerintah adalah apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan).
James E. Anderson (1979: 3) memberikan batasan, bahwa kebijakan adalah “A purposive course of action followed by an actor or set of factors in dealing with a problem or matter of concern”. Dengan menafsirkan kebijakan sebagai suatu pola tindakan yang mempunyai tujuan tertentu, yang diikuti oleh seorang aktor, atau sekelompok aktor dalam menghadapi suatu masalah atau suatu titik perhatian. Lebih lanjut Anderson menyatakan, bahwa kebijakan pemerintah adalah “those policies developed by governmental bodies and officials”.
Sarjana lain, seperti David Easton (1953: 129) mengartikan kebijakan pemerintah sebagai “the authoritative allocation of values for the whole society”. Berdasarkan batasan ini, Easton dengan tegas menyatakan, bahwa hanya pemerintah yang secara sah dapat berbuat sesuatu pada masyarakatnya. Pilihan pemerintah untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu tersebut, diwujudkan dalam bentuk pengalokasian nilai-nilai pada seluruh anggota masyarakat.
Sebenarnya masih banyak sarjana lain yang mengemukakan pendapatnya tentang batasan kebijakan pemerintah. Sekedar menyebut contoh, misalnya, Edward III, Sharkansky, Lasswell dan Kaplan, dan lain sebagainya.
Atas dasar pandangan para sarjana tersebut, terlihat bahwa kebijakan pemerintah pertama-tama akan selalu berkaitan dengan lingkungan pemerintahan. Di Negara Indonesia, lingkungan pemerintahan seringkali tersimpul dalam istilah astagatra, yakni meliputi dimensi fisik dan dimensi sosial. Dimensi fisik berupa trigatra, meliputi geografi, demografi dan sumber daya alam. Sedangkan aspek sosial, berupa pancagatra, yang popoler dengan akronim ipoleksosbudhankam (ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan).
Dengan pemahaman ini, berarti kebijakan pemerintah selalu dimaksudkan untuk mengatur, menanggulangi dan mengarahkan setiap kondisi lingkungan bagi pencapaian tujuan Negara, yang secara umum dapat dirumuskan dalam ungkapan “terciptanya kesejahteraan seluruh rakyat”. Dalam konteks Negara Indonesia, pernyataan ini dapat berarti bahwa setiap kebijakan pemerintah selalau ditujukan untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera berdasarkan Pancasila.
Kebijakan pemerintah bukanlah suatu tindakan yang asal jadi, tidak rasional, atau bersifat acak. Kendatipun, dalam proses implementasi maupun evaluasi, tidak jarang sulit untuk dilaksanakan dan tidak mencapai sasaran, atau tujuan yang diinginkan. Selain itu, kebijakan pemerintah selalu berarti hal-hal yang nyata atau sungguh-sungguh dilakukan oleh pemerintah. Bukan hanya apa yang dikatakan atau dijanjikan oleh pemerintah. Untuk melakukan semua ini, pemerintah dituntut untuk selalu bertindak atas dasar peraturan perundang-undangan atau ketentuan-ketentuan yang berlaku. Makna kebijakan pemerintah tersebut menyiratkan pula gambaran proses yang semestinya dalam pembuatannya.
Presiden Joko Widodo, sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan memiliki hak prerogatif untuk mengangkat dan memberhentikan seorang Menteri, yang kedudukannya sebagai Pembantu Presiden. Sepanjang yang saya ketahui, Presiden menganggap pro kontra atau perseteruan antara mantan Menteri ESDM, Sudirman Said, dengan mantan Menteri Koordinator Kemaritiman, Rizal Ramli dipandang tidak produktif. Maka dengan hak prerogatif yang dimilikinya, Presiden mengganti kedua menteri tersebut. Bahkan, kalau mau bisa saja presiden mengganti semua menteri dalam kurun waktu tertentu atau dalam kurun waktu yang bersamaan.
Siklus analisis kebijakan itu dimulai dari langkah formulasi kebijakan, yaitu merumuskan sebuah kebijakan. Tentu harus memperhitungkan cost and benefit analysis atau analisis biaya dan manfaat. Harus diperhitungkan masak-masak dampak positif dan negatifnya sebuah kebijakan yang akan ditetapkan.
Dalam tahap formulasi kebijakan, kenyataan menunjukkan, bahwa di Negara demokratis Barat lebih banyak kegagalan kebijakan di tahap ini, dibandingkan dengan di tahap implementasi (pelaksanaan). Hal ini dikarenakan, di negara-negara tersebut oposisi terhadap suatu kebijakan sudah terjadi pada saat rencana kebijakan dibicarakan oleh eksekutif dan legislatif. Oleh karena itu, rencana kebijakan yang tidak memperoleh persetujuan dari kedua lembaga tersebut, tidak akan diberlakukan. Inilah yang dimaksudkan dengan kegagalan kebijakan di atas.
Sebaliknya di negara berkembang (termasuk Indonesia), kegagalan kebijakan lebih banyak terjadi pada tahap implementasi, sedangkan pada tahap formulasi seringkali proses kebijakan berjalan mulus. Menurut Grindle (1980), hal ini terjadi karena di kebanyakan negara berkembang tidak ada oposisi yang efektif terhadap pemerintah, sehingga peranan pemerintah dalam pembuatan kebijakan adalah dominan.
Gambaran tersebut sangat tepat jika kita ingin menilai pengangkatan Arcandra Tahar sebagai Menteri ESDM. Masyarakat awam tentu tidak tahu, siapa dia yang sebenarnya. Karena dia sudah bermukim di Amerika Serikat lebih dari 20 tahun. Dia sudah berstatus sebagai warga Negara Amerika Serikat pada Maret 2012. Soal kemampuan atau kapasitasnya untuk mengurusi masalah energi dan sumber daya mineral saya rasa tidak perlu diragukan.
Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana proses formulasi kebijakan diambil, sehingga presiden mengambil sebuah kebijakan yang salah dan menabrak rambu-rambu Undang-Undang maupun Peraturan Pemerintah. Apakah karena kebijakan yang diambil takut bocor, sehingga pihak-pihak yang seharusnya memberikan masukan tidak dilibatkan dalam proses formulasi kebijakan? Atau mungkin para pembantu presiden juga tidak tahu persis apa yang seharusnya dilakukan, sehingga tidak memberikan masukan yang benar kepada presiden tentang sesuatu yang akan diputuskan.
Sepandai apapun kapasitas seorang menteri, tetapi kalau dari sisi hukum ada sesuatu yang dilanggar dan menjadi sorotan publik, maka kerja seorang menteri menjadi tidak produktif. Silang sengkarut tentang pengangkatan Menteri ESDM sudah diakhiri oleh Presiden Jokowi, dengan menerbitkan surat pemberhentian Arcandra Tahar sebagai Menteri ESDM. Tetapi publik masih bertanya-tanya kenapa itu bisa terjadi? Semoga ini menjadi pembelajaran yang terakhir dan bagi siapapun untuk lebih cermat dalam mengambil sebuah kebijakan, sehingga sinyalemen Yusril Ihya Mahendra, mantan Menteri Sekretaris Negara, bahwa untuk mengelola Negara jangan amatiran, dapat ditepis (*).
Tribun Kaltim, Kamis (18/8/2016).