watch_later

Jam Operasional : Senin - Jum’at 08.00 - 16.00 WITA

Semua Artikel

Artikel

Com Sapen: Karya dari Tangan yang Tak Lelah


 

Namanya Pak Dali.

Bukan pejabat. Bukan pula insinyur lulusan universitas luar negeri. Ia berasal dari Desa Rintik sebuah desa kecil di Kecamatan Babulu, Kabupaten Penajam Paser Utara. Lelaki bersahaja, berusia sekitar lima puluh tahun, dengan mata yang teduh. Senyumnya selalu hadir—tulus, jujur, dan sederhana. Senyum petani sejati.

 

Pertama kali melihatnya saat penutupan acara Gelar Teknologi Tepat Guna Unggulan tingkat provinsi. Aku bertugas sebagai tim dokumentasi. Ketika namanya disebut sebagai Juara I untuk inovasi alat "Coper Multifungsi Sahabat Petani Nusantara", ia berjalan pelan ke panggung. Mengenakan kaos, celana jingkrang, dan sandal. berbeda dengan peserta lainnya yang kebanyakan memakai batik.

 

Tapi bukan penampilannya yang menarikku. Melainkan sorot matanya yang jernih, dan senyum yang membawa kehangatan seolah berasal dari tanah itu sendiri—dari bumi yang ia garap setiap hari. Di tengah riuh tepuk tangan, Pak Dali tampak kikuk, tapi sorot matanya tenang. Ada kebesaran dalam kesederhanaannya.

 

Beberapa hari setelah acara itu, saya mulai intens berkomunikasi dengannya. Awalnya untuk keperluan dokumentasi dan desain poster yang akan dipasang di Aula Desa Mandiri, kantor DPMPD Kalimantan Timur. Tapi percakapan kami segera berkembang menjadi diskusi-diskusi panjang tentang alat buatannya. Ia menyebutnya: Com Sapen

 

Saya tahu Com Sapen adalah karya hidupnya. Merupakan Alat  multifungsi. Bisa mencacah, menepung, dan melembutkan sampah organik. Digunakan untuk membuat kompos, silase, dan pakan ternak. Satu alat, sejuta manfaat. Cocok bagi petani, peternak, dan pengelola kebun.

“Tujuannya sederhana,” kata Pak Dali suatu sore melalui panggilan suara, “saya cuma ingin petani tidak capek dua kali. Satu alat, bisa bantu banyak urusan.”

 

Tidak ada ambisi apapun. Yang ia pikirkan hanya satu: bagaimana alat ini bisa membantu lebih banyak orang. Ketika kami mengunggah profilnya di Instagram kantor, ia tidak menanyakan jumlah likes atau views. Sebaliknya, ia mengirimkan pesan, memberi saran caption:

“Tolong tulis begini ya:
Saya bahagia saat petani berkata: Alhamdulillah, alat ini bisa menjawab kebutuhan kami. Itu cukup buat saya. Itu doa paling mahal.”

 

Aku membaca pesan itu berulang kali. Ada sesuatu yang menyesak di dada. Dalam dunia yang gemar pada gelar, penghargaan, dan eksistensi digital, masih ada orang yang berkarya murni karena satu alasan: manfaat.

 

Suatu malam, ia mengirim file PDF berjudul Modul Pembuatan Kompos Skala Rumah Tangga. Katanya, “Sapatau bisa untuk tanaman saya di rumah. Nggak usah beli pupuk, bikin aja sendiri.”

 

Ia bukan hanya memikirkan alat, tapi dampaknya. Ia bukan sekadar inovator—ia penggerak. Dari balik gaya cuek dan kaos oblongnya, tersembunyi visi besar tentang ketahanan pangan.

 

oh iya, satu lagi, Pak Dali berharap inovasinya bisa dibukukan untuk ditaruh di perpusatakaan, agar bisa menjadi rujukan atau minimal jadi motivasi para pelajar untuk tak berhenti berkarya.

 

Pak Dali tidak pernah meminta panggung. Tapi hari itu, ketika ia berdiri di atasnya, aku sadar—kadang, perubahan besar tidak datang dari ruang rapat mewah atau jas mahal. Ia datang dari orang-orang seperti Pak Dali. Dari tangan yang tak pernah lelah bekerja. Dari hati yang tidak mencari tepuk tangan.

 

Dan alat Com Sapen bukan hanya mesin. Ia adalah simbol. Dari cinta pada tanah sendiri. Dari semangat untuk membuat kehidupan petani lebih mudah. Dari harapan bahwa anak-anak di desa bisa melihat bahwa inovasi tidak selalu harus datang dari kota besar.

 

Terima kasih, Pak Dali.
Terima kasih karena tidak menunggu dunia berubah.
Tapi justru menjadi bagian dari perubahan itu sendiri.

Dan untuk para petani, peternak, pekebun...

Kalian bukan sekadar profesi.
Kalian adalah puncak dari piramida kehidupan.
Tanpa kalian, tak akan ada pangan.
Tanpa pangan, tak ada ketahanan.
Tanpa ketahanan, tak ada masa depan.

 

 

#Buletin