Jam Operasional : Senin - Jum’at 08.00 - 16.00 WITA
Samarinda - Tahun 2014, 2015 dan lebih-lebih tahun 2016 ini adalah tahun keprihatinan bagi masyarakat dan Pemerintahan Provinsi Kalimantan Timur, maupun Pemerintahan Kabupaten/Kota. Hal ini dikarenakan sumber pendapatan daerah mengalami penurunan yang cukup drastis dari dana perimbangan keuangan.
Anggaran Belanja Pemerintah Provinsi dilakukan rasionalisasi sebesar 35%. Kabupaten Kutai Kartanegara 40%. Beberapa daerah yang lain rasionalisasinya lebih kecil dan variasinya sangat beragam dibanding Pemprov Kaltim maupun Pemkab Kukar. Konsekuensinya ada pelambatan program-program pembangunan dan menekan laju pertumbuhan ekonomi yang telah direncanakan. Bahkan kegiatan yang sudah dilaksanakan juga mengalami penundaan pembayaran.
Reaksi masyarakat, maupun pihak eksekutif dan legislatif sebenarnya hampir senada, yaitu Pemerintah Pusat dipandang tidak adil dalam memberikan porsi dana perimbangan kepada daerah penghasil sumber daya alam. Dalam konteks itulah, penulis mencoba Menyoal Hubungan Pusat-Daerah tersebut secara ringkas, dengan mengacu kepada Undang-Undang Dasar Republik Indonesia (UUD-RI) dan Undang-Undang (UU) Nomor 33 Tahun 2004 tentang Dana Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
UUD-RI, pada Bab VI Pemerintahan Daerah, pasal 18, menyebutkan, bahwa pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa. Daerah besar dimaknai sebagai daerah provinsi. Sedangkan daerah kecil dimaknai dengan kabupaten/kota.
Dalam Perubahan Kedua UUD-RI Tahun 1945, pada pasal 18A ayat (1) disebutkan, bahwa hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi, kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. Lebih lanjut disebutkan, hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang. Ketentuan tersebut sangat jelas menekankan tentang asas keadilan dalam konteks hubungan keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.
Munculnya dana perimbangan keungan antara pusat dan daerah dikarenakan adanya pemencaran kekuasaan secara vertikal dalam negara, yaitu kekuasaan pemerintah pusat dibagi kepada daerah-daerah di bawahnya. Pemencaran ini mengakibatkan pemerintah daerah juga harus mempunyai dana dalam penyelenggaraan kekuasaan itu sendiri. Untuk itu perlu diatur perimbangan keuangan pusat dan daerah. Hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat diartikan sebagai suatu sistem yang mengatur bagaimana caranya sejumlah dana dibagi antara berbagai tingkat pemerintah, serta bagaimana caranya mencari-cari sumber pembiayaan daerah untuk menunjang kegiatan-kegiatan sektor publiknya (Tjandra, 2009: 105). Hubungan antara pemerintah pusat dan daerah ini ditandai dengan adanya dana perimbangan, yaitu dana yang bersumber dari pemerintah pusat yang dialokasikan kepada pemerintah daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, yang terdiri dari dana alokasi khusus (DAK), dan dana bagi hasil dari penerimaan pajak dan sumber daya alam (UU Nomor 33 Tahun 2004).
Menyimak sejarah penyelenggaraan pemerintahan di daerah, sejak masa Orde Baru dengan pola hubungan pusat daerah yang cenderung sentralistik, menghasilkan suatu kebijakan yang terpusat di Jakarta, menyebabkan pemerataan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat sulit terwujud, bahkan hingga saat ini. Kesenjangan antara daerah berlanjut dengan ketidakadilan dalam pembagian hasil alam. Kalimantan Timur yang sumber daya alamnya melimpah (minyak bumi, gas, batu bara), tidak dapat menikmati hasil alamnya yang melimpah itu, lantaran terganjal regulasi atau peraturan perundang-undangan yang tidak memihak kepada daerah penghasil. Sementara kondisi infrastruktur di daerah penghasil sumber daya alam tersebut masih sangat memprihatinkan. Ketersediaan pasokan listrik masih sangat terbatas. Di beberapa kabupaten/kota, bahkan listrik sering dilakukan pemadaman secara bergiliran. Padahal Kaltim merupakan produsen batu bara terbesar di dunia. Lebih ironis lagi di kota Samarinda, sudah dikepung oleh operasional izin kuasa pertambangan batu bara. Akibatnya setiap kali hujan, Samarinda mengalami kebanjiran. Bahkan, korban anak tercebur dan mati-mati sia-sia di kolam eks galian tambang sudah lebih dari 10 orang.
Bagi semua daerah yang memiliki hasil alam seperti pertambangan, undang-undang tersebut dirasa belumlah adil seperti apa yang diharapkan, karena dana bagi hasil (DBH) antara pusat dan daerah mengenai hasil tambang sangat sedikit proporsinya untuk daerah yang bersangkutan, dibandingkan yang diterima oleh Pemerintah DKI Jakarta. Padahal dampak yang dirasakan akibat eksploitasi pertambangan adalah masyarakat setempat, di mana sumber daya alam tersebut berasal.
Mencermati pasal 14 huruf c UU Nomor 33 Tahun 2004, daerah hasil pertambangan umum hanya menerima 20%, sedangkan yang 80% untuk Pemerintah Pusat. Selanjutnya pada huruf e pasal yang sama, daerah penghasil minyak bumi malah hanya menerima 15,5%, sedangkan yang 84,5% menjadi hak Pemerintah Pusat. Pasal 14 huruf f yang mengatur bagi hasil pertambangan gas bumi agak sedikit menggembirakan bagi daerah penghasil, karena proporsi yang diterima sebanyak 30,5% bagi daerah penghasil, sedangkan yang 69,5% menjadi hak Pemerintah Pusat. Paling menguntungkan adalah daerah penghasil pertambangan panas bumi, karena daerah penghasil panas bumi dapat menikmati dana bagi hasil sebesar 80%, sebagaimana diatur dalam pasal 14 huruf g dalam UU Nomor 33 Tahun 2004. Persoalannya Kaltim tidak memiliki panas bumi belum dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan energi listrik.
Sementara itu, untuk sektor kehutanan pada pasal 14 huruf a, UU Nomor 33 Tahun 2004 memberikan angin segar bagi daerah, yakni dengan pembagian hasil 80% untuk daerah penerimaan Iuran Hak Pengusaha Hutan (IHPH) dan Provinsi Sumber Daya Hutan (PSDH). Sedangkan penerimaan dari dana reboisasi yang diatur dalam pasal 14 huruf b, daerah hanya mendapatkan 40% saja. Sayangnya sektor kehutanan sudah bukan primadona lagi.
Proporsi perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah terkait hasil tambang yang diatur dalam UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) relatif memberikan rasa keadilan bagi daerah penghasil. Dalam pasal 129 ayat (1) UU tersebut, daerah penghasil mendapatkan keuntungan bersih sebesar 6%, sedangkan Pemerintah Pusat hanya menerima sebesar 4%.
Adanya pembedaan proporsi dana bagi hasil antara sumber penghasilan yang satu dengan sumbaer penghasilan yang lain akan berakibat ketimpangan penerimaan daerah, dan bagi daerah yang mempunyai sumber daya alam, seperti sektor pertambangan akan merasakan ketidak-adilan. Apalagi dilihat dari sisi eksternalitas, dampak negatif eksploitasi sektor pertambangan cukup besar dan cukup lama dirasakan oleh masyarakat di mana lokasi pertambangan itu berada. Bagi daerah penghasil sumber daya alam yang cukup melimpah sangat merasakan kebijakan dana bagi hasil sangat tidak adil. Secara kebetulan yang memiliki sumber daya alam yang melimpah pada umumnya berada di luar Pulau Jawa masih ketinggalan jauh dibandingkan dengan Saudara-saudara kita yang berada di Pulau Jawa.
Banyaknya permasalahan yang muncul akibat pemberlakuan pola perimbangan keuangan antara pusat dan daerah seperti ini, khususnya dalam DBH sektor pertambangan perlu dicarikan formula yang tepat agar tidak terjadi ketimpangan keuangan antara satu daerah dengan daerah yang lain, maupun ketimpangan keuangan antara pusat dan daerah.
Masyarakat Kalimantan Timur sudah pernah melakukan judicial review UU Nomor 3 Tahun 2004, tetapi Mahkamah Konstitusi tidak mengabulkan tuntutan tersebut. Saat ini Pemerintah sedang mengajukan Rancangan Undang-Undang untuk merevisi UU Nomor 33 Tahun 2004. Rancangan Undang-Undang ini harus dikawal agar memenuhi prinsip-prinsip keadilan dan tidak mengecewakan daerah penghasil minyak, gas bumi dan batu bara. (*)
*) Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemdes Prov. Kaltim, mantan camat Babulu dan Penajam tahun 1997-1999.
*)dimuat di Tribun Kaltim tanggal 16 Februari 2016