Jam Operasional : Senin - Jum’at 08.00 - 16.00 WITA
Samarinda - PERISTIWA yang saya ceritakan ini terjadi di Desa Sebakung Jaya, Kecamatan Babulu, Kabupaten Paser (sekarang masuk Kabupaten Penajam Paser Utara). Kejadiannya pada tahun 1998, tidak lama setelah tumbangnya kekuasaan Orde Baru.
Sebakung Jaya merupakan desa eks Unit Pemukanan Transmigrasi (UPT). Sebagian besar penduduknya berasal dari Pulau Jawa. Sebagian kecil berasal dari Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), dan sebagiian yang lain merupakan penduduk lokal. Desa Sebakung Jaya letaknya tidak jauh dari Ibu Kota Kecamatan Babulu, sekitar 5km. Layaknya desa eks transmigran, mayoritas penduduknya adalah petani.
Desa Sebakung Jaya dipimpin seorang Kepala Desa yang terpilih secara demokratis. Sebut saja namanya Antono. Sosok kepala desa merupakan sosok yang paling sentral. Dia merupaka Public Figure. Bak seorang selebritis, tingkah laku dan gerak-geriknya selalu disorot dan menjadi bahan pembicaraan masyarakat. Di warung, stand ojek, tempat penggilingan padi, di sawah, di kebun, warga masyarakat yang tidak suka dengan tingkah laku kepala desa pasti membicarakan, tetapi dengan cara bisik-bisik atau sembunyi-sembunyi dan tidak berani terang-terangan.
Awalnya, kehidupan masyarakat di Desa Sebakung Jaya cukup tentram. Sikap gotong royong dan tepo seliro (tleransi) sangat menonjol. Ya, masyarakat jawa memang terkenal akomodatif dan kompromistis. Munculnya perbedaan, tidak menjadikan mereka bermusuh-musuhan. Tetapi suasana reformasi, yang ditandai dengan lengsernya kekuasaan Presiden Soeharto pada bulan Mei 1998, memiliki dampak yang luar biasa terhadap tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Tak terkecuali kehidupan di perdesaan. Sendi-sendi kehidupan dan tata cara bergaul masyarakat menjadi porak-poranda.
Sebelum tumbangnya kekuasaan Orde Baru, mana ada warga masyarakat yang berani menentang seorang kepala desa. Begitu reformasi, masyarakat seperti kehilangan jati dirinya. Sopan santutn dan tata krama tidak diindahkan lagi. Masyarakat dalam menyampaikan aspirasi atau tuntutan, bicaranya sangat lantang. Bahkan, sampai berteriak dan sangat sulit diajak negosiasi. Tidak kooperatif.
Mereka nampak beringas. Apa yang menjadi tuntuan mereka, mesti dikabulkan. Apa yang menjadi pendapat mereka, mesti dianggap benar. Mereka menjadi tidak sabaran. Maunya serba cepat dan serba instan. Begitulah kira-kira gambaran masyarakat perdesaan ada awal-awal masa reformasi. Semua masyarakat maunya bicara sendiri-sendiri dan semuanya minta diselesaikan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya (persis seperti bunyi teks proklamasi).
Era reformasi nampaknya memiliki efek domino dan momentum yang sangat tepat bagi warga masyarakat untuk melengserkan pemimpin mereka, yaitu Kepala Desa Sebakung Jaya. Warga masyarakat berkumpul di Balai Desa mendemo dan melengserkan Sang Penguasa dari kursi empuknya sebagai Kepala Desa.
Waktu sudah menunjukkan pukul 14.00 Wita. Masyarakat sudah tidak sabar lagi untuk segera melengserkan Kepala Desa. Untuk mecari jalan yang terbaik, jiwa keamongan saya muncul. Saya mencoba memimpin pertemuan. Melakukan dialog terbuak dengan tokoh-tokoh masyarakat, yang sekaligus sebagai inisiator para demonstran. Pada waktu itu hadir pula anghota Muasyawarah Piminan Kecamatan (MUSPICAM), yaitu Komadan Rayon Militer dan Kapolsek Waru, Sebagai Kecamatan pemekaran, Babulu masih belum memilik Koramil dan Polsek sendiri.
Satu persatu, tokoh masyarakat saya berikan kesempatan menyampaikan pendapatnya. Mereka menuntut agar kepala segera dinon-aktifkan/dilengserkan. Mereka mengakui, dulu memang menjadi pendukung terpilihnya Saudara Antono menjadi Kepala Desa. Tapi sekarang dukungan tersebut mereka cabut, karena Kepala Desa diangga sudah tidak bisa mengayomi masyarakatnya dan tidak amanah lagi.
Semakin sore, suasana semakin panas. Saya mencoba menyampaikan pemikiran, untuk menurunkan seorang Kepala Desa, terlebih dahulu harus dilakukan pemeriksaan oleh Inspektorat Kabupaten. Tetapi masyarakat tidak peduli dengan gagasan yang saya sampaikan. Bahkan, sebagian masyarakat meminta agar Kepala Desa diusir ke luar dari Desa Sebakung jaya. Tuntutan masyarakat sungguh sangat keterlaluan dan melampaui batas kemanusiaan.
Saya mencoba berfikir secara jernih. Aspirasi warga masyarakat saya tampung dan saya anaisis. Sampailah pada satu kesimpulan, Kepala Desa Sebakung Jaya nampaknya memang sudah banyak melakukan kesalahan, sehingga dapat dianggap melukai hati masyarakat.
Berdasarkan kesaksian warga masyarakat, ketika Saudara Antono terpilih menjadi kepala desa, suara yang dia peroleh hanya terpaut satu suara dengan kandidat kepala desa yang lain. Namun setelah terpilih menjadi Kepala Desa bukannya merangkul para pesaing, tetapi malah menumbuhkan bibit-bibit permusuhan. Dia memberhentkan para perangkat desa yang dipandang tidak pro atau tidak mendukung dan mengusulkan perangkat desa yang baru sebagai penggantinya.
Para perangkat desa yang diberhentikan/dipecat tidak bisa berbuat banyak, selain menerima keputusan tersebut dengan kondisi terpaksa. Dia masa pemerintahan Orde Baru, siapa yang berani melawan titah penguasa? Demokrasi dibungkam. Suara rakyat disumbat. Komunikasi lebih bersifat satu arah, dari atas kebawah (top down). Apa yang menjadi kemauan penguasa hampir pasti bisa terlaksana. Bukan hanya ditingkat pusat. Tetapi perilaku buruk tersebut juga berlaku sampai pada elit desa.
Saya sebagai Camat Kepala Wilayah KecamatanBabulu, yang membawahi Desa Sebakung Jaya sebenarnya mengetahui kalau kemampuan komunikasi dan kemampuan administrasi saudara Antono cukup baik. Jika ada rapat ditingkat Kecamatan, dia termasuk salah satu Kepala Desa yang aktif bertanya atau menyampaikan gagasan-gagasan yang cukup masuk akal. Namun apa boleh dikata. Kemarahan masyarakat sudah sampai pada puncaknya.
Suasana pertemuan dengan masyarakat di Balai Desa sudah tidak kondusif. Pertemuan saya skorsing sekitar 20 menit. Pertemuan terbatas saya lakukan dan saya pimpin. Pertemuan hanya dihadiri anggota Muspika Waru dan Saudara Antono. Saya melontarkan gagasan agar Saudara Antono mengundurkan diri secara suka rela. Pilihan ini memang pahit. Tetapi jauh lebih terhormat daripada dipaksa mundur oleh masyarakat. Ya, jabatan adalah sebuah kepercayaan. Ketika kepercayaan sudah dicabut, maka seorang pemimin akan kehilangan kuasa dan wibawa. Semula Saudara Antono keberatan. Setelah saya kemukakan plus minusnya, akhirnya Saudara Antono mau mengikuti saran/langkah yang saya sampaikan.
Usai pertemuan terbatas, skorsing saya cabut dan pertemuan dengan tokoh masyarakat dilanjutkan. Agendanya hanya satu, yaitu Saudara Antono saya minta untuk membacakan surat pengunduran diri sebagai Kepala Desa Sebakung Jaya. Usai membaca syrat pengunduran diri, maka bergemuruhlah tepuk tangan dan suara yang membuncah dari warga yang hadir. Mereka seakan-akan berpesta merayakan kemenangan melawan kepala desa.
Mundurnnya sang Penguasa.(*)
( Telah diimuat di SKH Tribun Kaltim, Hari Rabu, Tanggal 25 Mei 2016)