Jam Operasional : Senin - Jum’at 08.00 - 16.00 WITA
Pohan Jae, Kecamatan Siborongborong, Tapanuli Utara – DPMPD melakukan kegiatan Studi Kompratif tentang Pengakuan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat (MHA) Onan Harbangan Nagasaribu, Desa Pohan Jae, Kecamatan Siborongborong, Kabupaten Tapanuli Utara, Provinsi Sumatra Utara. Kegiatan ini dihadiri oleh berbagai pihak terkait, termasuk perwakilan dari Pemerintah Provinsi Sumatra Utara (Pemprov Sumut), Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara (Pemkab Tapanuli Utara), serta masyarakat adat setempat.
Agenda dari kegiatan ini adalah untuk menggali informasi lebih dalam mengenai skema dan pola pemberian pengakuan serta perlindungan terhadap MHA, tantangan dan hambatan yang dihadapi, serta langkah afirmasi yang diberikan oleh pemerintah pasca pengakuan MHA. Sebagai salah satu komunitas adat yang baru saja mendapatkan pengakuan resmi, studi kompratif ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai proses dan dampak dari pengakuan MHA, serta bagaimana pemberdayaan dapat dilaksanakan secara lebih efektif.
Dari hasil diskusi, ditemukan bahwa Provinsi Sumatra Utara telah secara resmi mengeluarkan Surat Keputusan (SK) untuk pengakuan 11 MHA, dengan 9 di antaranya terletak di Kabupaten Tapanuli Utara. Pengakuan terhadap MHA ini merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk memberikan perlindungan hukum dan mengakui keberadaan masyarakat hukum adat yang memiliki hubungan erat dengan tanah dan lingkungan di sekitar mereka.
Pola atau skema pemberian pengakuan MHA di Provinsi Sumut mengacu pada Permendagri No. 52 Tahun 2014. Namun, implementasi di lapangan menunjukkan bahwa untuk menangani masalah pengakuan dan perlindungan MHA, Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara menugaskan Dinas Lingkungan Hidup sebagai perangkat daerah yang bertanggung jawab, sesuai dengan permintaan bupati. Hal ini menunjukkan adanya penyesuaian kebijakan yang lebih fleksibel untuk memfasilitasi proses pengakuan MHA yang lebih cepat dan efektif.
Meskipun pengakuan terhadap MHA telah dilakukan, tantangan dan hambatan yang muncul pasca pengakuan tetap perlu diperhatikan. Salah satu tantangan terbesar adalah proses yang panjang dan berlarut-larut, di mana pengakuan tidak hanya sekadar soal penerbitan SK, tetapi juga terkait dengan pemastian aspek lainnya, seperti hak atas tanah dan pengelolaan sumber daya alam. Tanpa pendekatan yang hati-hati, pengakuan bisa berisiko menimbulkan konflik, baik internal di dalam komunitas adat maupun dengan pihak luar, terutama terkait dengan klaim atas tanah ulayat yang seringkali berbenturan dengan kepentingan pihak lain.
Di sisi lain, pengakuan terhadap MHA juga membuka peluang untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat adat, terutama dalam hal pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam. Untuk itu, dibutuhkan kebijakan yang tepat serta pemahaman yang menyeluruh tentang hak-hak masyarakat adat dan potensi dampak sosial dan ekologis yang ditimbulkan.
Terkait dengan afirmasi yang diberikan pemerintah setelah pengakuan MHA, Pemerintah Provinsi Sumut, Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, dan pihak terkait lainnya menunjukkan komitmen yang kuat untuk mendukung keberlanjutan hak-hak masyarakat adat. Salah satu bentuk afirmasi tersebut adalah melalui pemberian pengesahan Hutan Adat kepada MHA Onan Harbangan Nagasaribu, yang diresmikan dengan SK Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada tahun 2022. Hutan Adat yang memiliki luas 1.586 hektar ini memberikan hak kelola yang sah kepada masyarakat adat untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan.
Peran Bupati Tapanuli Utara yang turun langsung ke lapangan dan panitia yang sigap dalam mempercepat proses pengakuan menjadi faktor kunci dalam keberhasilan pengakuan MHA ini. Kolaborasi antara pemerintah daerah, masyarakat adat, serta dukungan penuh dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan KLHK telah memperlancar proses ini.
Mengenai masalah batas wilayah adat, masyarakat adat Onan Harbangan Nagasaribu telah menyelesaikan sebagian besar persoalan melalui musyawarah mufakat. Meskipun demikian, ada beberapa isu yang masih dalam proses penyelesaian di pengadilan, terutama terkait dengan sengketa tanah ulayat dan tanah individu yang timbul setelah pengakuan MHA. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun pengakuan MHA memberikan hak secara hukum, implementasinya tetap memerlukan penyelesaian secara bijak dan adil untuk semua pihak yang terlibat.
Secara keseluruhan, proses pengakuan, perlindungan, dan pemberdayaan masyarakat hukum adat di Kabupaten Tapanuli Utara merupakan contoh konkret dari upaya pemerintah dalam mengakui eksistensi masyarakat adat dan memberikan mereka hak-hak yang sah serta perlindungan hukum yang memadai.