Jam Operasional : Senin - Jum’at 08.00 - 16.00 WITA
Kutai Kartanegara, 14 April 2025 — Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menggelar Rapat Kerja Nasional (Rakernas) ke-8 pada hari Senin, 14 April 2025 bertempat di Desa Kedang Ipil, Kecamatan Kota Bangun Darat, Kabupaten Kutai Kartanegara. Acara ini dimulai pukul 13.00 WITA dan berlangsung hingga selesai, dengan dihadiri oleh 376 peserta dari berbagai wilayah nusantara.
Rakernas ini diselenggarakan oleh Pengurus Besar AMAN dan dihadiri oleh jajaran pengurus wilayah dan daerah AMAN, perwakilan komunitas masyarakat hukum adat (MHA), kepala adat, tokoh adat, serta pemuda adat dari seluruh Indonesia.
Acara ini menghadirkan sejumlah narasumber penting, diantaranya Deputi Sosial Budaya dan Pemberdayaan Masyarakat Otorita IKN, Kepala DPM-Pemdes Provinsi Kalimantan Timur, Akademisi Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Sekretaris Jenderal AMAN, dan perwakilan dari Komunitas Masyarakat Adat Suku Balik Sepaku.
Sekretaris Jenderal AMAN, Rukka Sombolinggi, menegaskan bahwa Rakernas ini merupakan forum strategis untuk membahas percepatan pengakuan dan pemberdayaan masyarakat hukum adat di Indonesia. Ia menyoroti pentingnya komitmen bersama antara masyarakat adat dan pemerintah dalam mewujudkan perlindungan dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat. Sejak 1999, AMAN terus memperjuangkan pengesahan Undang-Undang Masyarakat Adat yang hingga kini masih tertahan di DPR.
Sementara Perwakilan Komunitas Masyarakat Adat Suku Balik Sepaku, Dahlia, mengungkapkan keresahan masyarakat adat yang terdampak pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN). “Perempuan-perempuan adat kini berjuang menopang ekonomi keluarga, sementara hak dasar seperti air bersih, lahan, dan tempat tinggal yang layak semakin sulit dijangkau,” ujarnya dengan nada haru.
Menanggapi hal tersebut, Deputi Sosial Budaya dan Pemberdayaan Masyarakat Otorita IKN, Alimuddin, menegaskan bahwa pembangunan IKN berbasis budaya dan tidak akan menggusur wilayah masyarakat adat. “Kami bertanggung jawab untuk melestarikan dan menguatkan budaya masyarakat terdampak,” ucapnya.
Sementara itu, Kepala DPM-Pemdes Kalimantan Timur, Puguh Harjanto, menyampaikan bahwa Provinsi Kaltim telah memiliki Perda No. 1 Tahun 2015 sebagai dasar hukum pengakuan dan perlindungan MHA. Dari 206 komunitas MHA di Kaltim, baru 7 komunitas yang telah mendapat SK pengakuan dari pemerintah kabupaten.
Akademisi dari Fakultas Hukum UGM, Bapak Yance Arizona, menggarisbawahi perlunya regulasi baru yang lebih sesuai dengan kondisi nyata di lapangan. “Masyarakat adat tidak menolak pembangunan, tetapi menolak jika identitas dan tanah mereka dihilangkan,” ujarnya. Ia juga mendorong adanya MoU antara AMAN dan Otorita IKN sebagai langkah konkret sinergi bersama.